Oleh : Indira PermanasariPenculikan bayi di rumah sakit kerap diikuti isu terkait perdagangan organ tubuh dan keterlibatan sindikat internasional. Rumah persalinan disebut-sebut menjadi sasaran baru. Namun, mudahkah urusan transplantasi organ dan jaringan tubuh? Termasuk ketika dilakukan terhadap bayi?
Pencangkokan organ tubuh bayi bukan hal baru. Di New York, Elijah Moulton (8 bulan) menjalani transplantasi lima organ sekaligus (hati, usus halus, pankreas, usus besar, dan lambung) di Morgan Stanley Children’s Hospital New York tahun 2006.
Jauh sebelumnya, 26 Oktober 1984, sebuah peristiwa bersejarah bidang kedokteran terukir di Loma Linda University Medical Center. Dr Leonard L Bailey memelopori transplantasi jantung lintas spesies dari seekor babon kepada bayi yang baru lahir prematur. Operasi Baby Fae menjadi landasan prosedur pencangkokan jantung bayi di rumah sakit itu. Kini, ada ribuan transplantasi jantung pada bayi baru lahir di dunia.
Indonesia tak mau ketinggalan. RS Dokter Kariadi Semarang bekerja sama dengan Universitas Diponegoro dan National University Hospital Singapura melakukan cangkok hati pertama pada bayi
berusia 1 tahun 3 bulan dengan donor sang ibu pada 2006. Sebanyak 25 persen hati sang ibu diambil dan dicangkokkan ke hati bayi yang rusak (Kompas, Oktober 2006).
Rumitnya pencangkokan
Dokter spesialis penyakit dalam dari Bidang Advokasi Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, Ari Fachrial Syam, berpendapat, seiring perkembangan teknologi kedokteran, pencangkokan organ tubuh termasuk untuk bayi kian maju. Namun, transplantasi organ sangat kompleks. Organ yang dapat dicangkokkan, antara lain, adalah ginjal, kornea mata, jantung, paru-paru, hati, kulit, pankreas, dan sumsum tulang belakang.
Di Indonesia, yang rutin ialah pencangkokan ginjal dan kornea mata. Kendala utama teknologi transplantasi jantung dan hati di Indonesia biasanya terkait donor.
Jika dilakukan ilegal, di tengah larangan komersialisasi organ dan keharusan kejelasan identitas donor, pencangkokan jadi lebih rumit. Kerumitan dimulai dari soal dokumen identitas donor, kecocokan donor, hingga penyimpanan organ (jika butuh disimpan terlebih dahulu). Pengerjaannya harus oleh tim dokter dan rumah sakit berfasilitas memadai. Risiko kesehatannya besar dan biayanya pun besar—skala ratusan juta hingga miliaran rupiah. Dengan biaya sebesar itu tentu penerima organ tidak mau sembarangan menerima organ donor.
Agar penerima organ bertahan hidup, donor diseleksi ketat. Harus diketahui profil dan kesehatannya, mulai dari usia, ukuran tubuh, screening (virus, jamur dan bakteri), golongan darah, reaksi antigen, hingga antibodi. Si penerima juga dipertimbangkan usia, jenis sakit, dan komplikasi lain yang diderita.
Kesamaan golongan darah saja tidak menjamin kesesuaian dan tingkat kesuksesan. Masih ada faktor kekebalan tubuh, yaitu reaksi tubuh terhadap benda asing. Ini dilihat dari reaksi antigen dan antibodi. Antigen merupakan zat yang dapat merangsang respons kekebalan. Antigen pada organ yang dicangkokkan akan memberikan peringatan kepada tubuh penerima bahwa organ itu merupakan benda asing dan terjadi serangan (penolakan).
Jika tidak cocok, perlu usaha lebih besar dan sulit untuk menentralkan. Human leukocyte antigens (HLA) merupakan antigen yang ikut menentukan peluang keberhasilan pencangkokan. Saudara kembar identik mempunyai HLA sama. Hubungan persaudaraan kandung berpeluang mempunyai kemiripan HLA lebih besar. Oleh karena itu, keluarga biasanya lebih cocok sebagai donor. Sekalipun HLA mirip, sistem kekebalan penerima organ masih harus dikendalikan agar tidak terjadi penolakan. Obat-obatan penekan sistem kekebalan (imunosuppresan) biasanya digunakan.
Untuk transplantasi organ pada bayi lebih kompleks lagi. Organ tubuh bayi yang baru lahir masih berkembang, sementara dibutuhkan kesiapan kondisi tubuh si penerima. Ukuran organ pun harus sesuai. Organ seperti ginjal pada bayi, misalnya, tidak dapat dicangkokkan ke orang dewasa. ”Operasi pencangkokan
disertai terapi dengan berbagai obat-obatan. Bagi bayi yang rentan tentu butuh penanganan khusus,” ujar Ari.
Pengambilan organ tubuh donor tidak bisa sembarangan agar kondisi organ tetap baik. ”Operasi demikian hanya bisa dilakukan di tempat yang ada ruang operasi berfasilitas memadai. Kalau itu dilakukan di rumah sakit, tentu melibatkan dokter dan sejumlah tenaga kesehatan. Sangat sulit dilakukan sendiri oleh dokter,” ujarnya.
Terlebih lagi jika donor dan pasien berada di lokasi berbeda. Organ perlu disimpan dan dipindahkan. Padahal, Ari mengatakan, terdapat ”periode emas”, yakni batas waktu organ masih dalam kondisi baik. Jaringan hidup dapat bertahan 6-8 jam dengan penyimpanan yang baik. Masih tergantung jenis organ dan kondisinya. Transplantasi jantung dan paru-paru, misalnya, harus
segera dilakukan setelah organ diambil karena waktu simpannya pendek. Oleh karena itu, umumnya donor dari korban kecelakaan atau yang mati batang otak (brain dead).
Di Indonesia, aturan transplantasi tertuang dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal 64 menyebutkan, transplantasi organ hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang dikomersialkan. Organ dan jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apa pun. Pasal 65 menegaskan transplantasi hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Pelaksanaannya pun hanya di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.(AP/www.pjnhk/ www.house.gov)
Kamis, 21 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.