livan73

http://payspree.com/113/livan73

Senin, 11 Januari 2010

AMBATTHA SUTTA

Sumber : Sutta Pitaka Digha Nikaya
Oleh : Tim Penterjemah Kitab Suci Agama Buddha
Penerbit : Badan Penerbit Ariya Surya Chandra, 1992

Bagian I

1. Demikian yang telah kami dengar. Pada suatu ketika, sewaktu Sang Bhagava bepergian menjelajahi negara Kosala bersama dengan lima ratus orang Bhikkhu. Beliau tiba di suatu desa yang bernama Icchanankala, desa tempat tinggal kaum brahmana. Setelah berada di sana, Sang Bhagava tinggal di Hutan Icchanankala.

Pada waktu itu brahmana Pokkharasadi sedang berdiam di Ukkattha, suatu tempat yang padat penduduknya, banyak padang rumput, hutan kayu dan ladang; tanah kerajaan yang dihadiahkan oleh Raja Pasenadi Kosala kepadanya, dan ia berkuasa penuh atas tempat itu seakan-akan ia seorang raja layaknya.
2. Brahmana Pokkharasadi mendengar berita bahwa Samana Gotama dari suku Sakya, yang telah meninggalkan keluarga Sakya untuk menjalankan hidup pabbajja; bepergian menjelajahi negara Kosala bersama dengan lima ratus orang bhikkhu dan sekarang tiba di Icchanankala dan berdiam di Hutan Icchanankala. Demikianlah kabar baik mengenai Sang Gotama, Sang Bhagava yang telah tersebar luas: "Sang Bhagava, yang Maha Suci, Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna, sempurna pengetahuan serta tindak-tanduk-Nya, sempurna dalam menempuh Jalan, Pengenal segenap alam, Pembimbing yang tiada tara bagi mereka yang bersedia untuk dibimbing, Guru para dewa dan manusia, Yang Sadar, Yang Patut Dimuliakan. Beliau mengajarkan Pengetahuan yang telah diperoleh melalui usaha-Nya sendiri kepada orang orang lain dalam dunia ini yang terdiri dari para dewa, mara dan Brahma; para petapa, brahmana, raja beserta rakyatnya. Beliau mengajarkan Dhamma (Kebenaran) yang indah pada permulaan, indah pada pertengahan dan indah pada akhirnya, baik dalam isi maupun bahasanya. Beliau mengajarkan cara hidup pertapa (brahmacariya) yang sempurna dan suci".

'Sungguh baik sekali untuk pergi mengunjungi Arahat seperti itu'.
3. Pada waktu itu seorang brahmana muda bernama Ambattha menjadi murid brahmana Pokkharasadi. Ia adalah seorang yang hafal membaca mantra; menguasai Tri-Veda dengan indeks, upacara, fonologi, keterangan-keterangan dan cerita-ceritanya sebagai yang kelima; pandai dalam ungkapan-ungkapan dan tata bahasa; ahli ilmu lokayata (materialisme) dan pengetahuan tentang tanda-tanda tubuh manusia besar (mahapurisa-lakkhana). Dan karena dikenal sebagai seorang yang ahli dalam sistim pengetahuan Tri-Veda (tevijja), maka ia dapat berkata: 'Apa yang aku ketahui, engkau juga tahu; apa yang engkau ketahui, aku juga tahu.'

4. Kemudian brahmana Pokkharasadi memberitahu Ambattha, demikian: "Ambattha, itulah Samana Gotama dari suku Sakya, yang telah meninggalkan keluarga Sakya untuk menjalankan hidup pabbajja; bepergian menjelajahi negara Kosala bersama dengan lima ratus orang, bhikkhu, sekarang tiba di Icchanankala dan berdiam di Hutan Icchanankala. Demikianlah kabar baik mengenai Sang Gotama, Sang Bhagava yang telah tersebar luas: 'Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna, sempurna pengetahuan serta tindak-tanduk-Nya, sempurna menempuh Jalan, Pengenal segenap alam, Pembimbing yang tiada tara bagi mereka yang bersedia untuk dibimbing, Guru para dewa dan manusia, Yang Sadar, Yang Patut Dimuliakan. Beliau mengajarkan Pengetahuan yang telah diperoleh melalui usaha-Nya sendiri kepada orang orang lain dalam dunia ini yang meliputi para dewa, mara dan Brahma; para petapa, brahmana, raja beserta rakyatnya. Beliau mengajarkan Dhamma (Kebenaran) yang indah pada permulaan, indah pada pertengahan dan indah pada akhir, baik dalam isi maupun bahasanya. Beliau mengajarkan cara hidup petapa (brahmacariya) yang sempurna dan suci.' Sungguh baik pergi mengunjungi arahat seperti itu. Sekarang, Ambattha, pergilah mengunjungi Samana Gotama; setelah bertemu dengan Samana Gotama selidiki apakah kabar baik yang telah tersebar luas mengenai Sang Gotama itu sesuai dengan kenyataan atau tidak; apakah keadaan diri Sang Gotama seperti yang mereka katakan itu atau tidak'.

5. "Tetapi, Guru, bagaimana aku dapat mengetahui keadaan Sang Gotama; apakah kabar baik yang telah tersebar luas mengenai diri Sang Gotama itu sesuai dengan kenyataan atau tidak; apakah keadaan Sang Gotama seperti yang mereka katakan itu atau tidak ?"

"Ambattha, dalam syair-syair mantra kita telah diajarkan tiga puluh dua tanda tubuh manusia besar; yang apabila seseorang memiliki tanda-tanda ini, maka ia akan menjadi salah satu dari dua hal, bukan lainnya. Bila ia hidup berumahtangga, ia akan menjadi raja yang memerintah dunia (cakkavatti-raja), seorang Raja Kebenaran (Dhamma-raja), bahkan menguasai sampai seberang empat lautan, seorang penakluk, pelindung rakyatnya, pemilik tujuh-mustika (satta-ratana). Dan inilah tujuh mustika yang ia miliki, yaitu: mustika Roda (cakka-ratana), mustika Gajah (hatthi-ratana), mustika Kuda (assa-ratana), mustika Permata (mani-ratana), mustika Wanita (itthi-ratana), mustika Harta (gahapati-ratana) dan mustika Panglima (parinayaka-ratana) sebagai yang ketujuh. Dan ia memiliki putra lebih dari seribu, memiliki pahlawan-pahlawan yang kuat untuk menghancurkan tentara musuh. Dan ia berkuasa penuh atas tanah luas yang berbataskan lautan; memerintah dengan adil tanpa mempergunakan tongkat dan pedang. Tetapi, apabila ia pergi meninggalkan hidup keluarga, mengembara sebagai petapa tanpa rumah; maka ia akan menjadi seorang Buddha, Arahat, yang menyingkirkan kegelapan dari mata dunia. Ambattha, aku pemberi syair-syair mantra; engkau telah menerimanya dariku".
6.

"Baiklah, Guru" jawab Ambattha. Kemudian ia bangkit dari duduknya dan memberi hormat pada brahmana Pokkharasadi; kemudian ia naik kereta yang ditarik oleh kuda betina dan berangkat bersama dengan serombongan pemuda brahmana menuju ke Hutan Icchanankala. Setelah melanjutkan perjalanan dengan naik kereta sejauh jalan masih dapat dilalui oleh kendaraan, selanjutnya ia turun dari keretanya dan berjalan kaki ke arama.
7. Pada waktu itu sejumlah bhikkhu sedang berjalan-jalan di udara terbuka, Kemudian Ambattha pergi mendekati para bhikkhu itu dan berkata: "Di manakah yang Mulia Gotama sekarang berdiam ? Kami datang ke mari ingin menjumpai Yang Mulia Gotama"

8. Selanjutnya para bhikkhu itu berpikir: "Pemuda Ambattha ini berasal dari keluarga ternama dan menjadi murid brahmana Pokkharasadi yang terkenal. Sang Bhagava tentu tidak akan mengalami kesukaran untuk bercakap-cakap dengan dirinya." Dan mereka berkata kepada Ambattha: "Ambattha, Beliau tinggal di sana, di rumah yang pintunya tertutup; pergilah ke sana dengan diam-diam dan masuk perlahan-lahan melalui serambi muka; berikan tanda batuk dan ketuklah palang pintunya. Sang Bhagava akan membukakan pintu bagimu".

9. Kemudian Ambattha menuju ke tempat tinggal Beliau yang pintunya tertutup. Ia pergi ke sana dengan diam-diam dan masuk perlahan-lahan melalui serambi muka; memberikan tanda batuk dan mengetuk palang pintunya. Sang Bhagava membuka pintu dan Ambattha masuk. Para pemuda brahmana itu juga ikut masuk, mereka bersama-sama saling bertukar salam dengan Sang Bhagava dengan kata-kata ramah dan menyenangkan; kemudian mereka duduk. Tetapi, sewaktu Sang Bhagava duduk, Ambattha berjalan kian kemari, mengucapkan sesuatu yang tidak sopan sambil berjalan kian kemari atau berdiri menghadap Sang Bhagava yang duduk di sana.

10. Kemudian Sang Bhagava berkata kepadanya: "Ambattha, apakah begitu caranya engkau bercakap-cakap dengan para brahmana yang lanjut usianya, dengan para guru dari guru-gurumu yang berusia tua, seperti yang sekarang engkau lakukan, sambil mengucapkan sesuatu yang tidak sopan dengan sikap yang kasar sambil berjalan kian kemari atau berdiri sewaktu aku sedang duduk ?"

"Sudah tentu tidak. Gotama, Gotama, adalah pantas untuk berbincang-bincang dengan brahmana sambil berjalan hanya sewaktu brahmana itu sendiri sedang berjalan. Gotama, adalah pantas untuk berbincang-bincang dengan brahmana sambil berdiri hanya sewaktu brahmana itu sendiri sedang berdiri. Gotama, adalah pantas untuk berbincang-bincang dengan brahmana sambil duduk hanya sewaktu brahmana itu sendiri sedang duduk. Gotama, adalah pantas untuk berbincang-bincang dengan brahmana sambil berbaring hanya sewaktu brahmana itu sendiri sedang berbaring. Tetapi, Gotama, dengan orang berkepala gundul, petapa palsu, kaum budak hitam, keturunan kaum Sudra - dengan mereka aku akan berbincang seperti yang sekarang aku lakukan dengan engkau, Gotama"

11. "Tetapi, Ambatha, sewaktu datang ke mari engkau pasti menginginkan sesuatu. Kembalikanlah pikiranmu pada obyek yang kau miliki sewaktu datang. Pemuda Ambattha ini tidak terdidik baik, walaupun ia bangga dengan pendidikannya; apakah ini bukannya karena kurang pendidikan ?"

12. Kemudian Ambattha menjadi tidak senang dan marah kepada Sang Bhagava yang mengatakannya kurang pendidikan; dan mengira Sang Bhagava menyesal kepadanya. Samana Gotama mengatakan diriku jahat, katanya sambil mengejek Sang Bhagava, mengolok-ngoloknya dan mencemoohkannya. Ia lalu berkata kepada Sang Bhagava : "Gotama, keturunan Sakya kejam; Gotama, keturunan Sakya kasar; Gotama, keturunan Sakya mudah tersinggung; Gotama, ¾ keturunan sebangsa budak; mereka tidak menghormati kaum brahmana, mereka tidak menghargai kaum brahmana, mereka tidak mengindahkan kaum brahmana, mereka tidak memuja kaum brahmana, mereka tidak memberikan persembahan persembahan kepada kaum brahmana. Gotama, sesungguhnya hal itu tidak pantas, hal itu tidak sopan. Suku Sakya itu adalah budak-budak, sebangsa budak; mereka tidak menghormati kaum brahmana, mereka tidak menghargai kaum brahmana, mereka tidak mengindahkan kaum brahmana, mereka tidak memuja kaum brahmana; mereka tidak memberikan persembahan-persembahan kepada kaum brahmana."

Demikianlah untuk pertama kalinya pemuda Ambattha menghina suku Sakya sebagai budak-budak.
13. Tetapi dengan cara bagaimana suku Sakya pernah berbuat salah kepadamu, Ambattha ?
"Pada suatu waktu, Gotama, ketika aku harus pergi ke Kapilavatthu untuk urusan pekerjaan guruku brahmana Pokkharasadi, aku mengunjungi balaikota (santhagara) suku Sakya. Dan pada waktu itu, di dalam gedung balaikota terdapat sekelompok suku Sakya, pemuda-pemuda Sakya sedang duduk di atas kursi-kursi megah; mereka saling menggelitik dengan jari-jari tangan satu sama lain, tertawa-tawa dan bergembira; dan kupikir, pastilah diriku yang dijadikan bahan tertawaan mereka; dan bahkan tak seorang pun di antara mereka yang memberikan tempat duduk kepadaku. Gotama, sesungguhnya hal itu tidak pantas, hal itu tidak sopan. Suku Sakya itu adalah budak-budak, sebangsa budak; mereka tidak menghormati kaum brahmana, mereka tidak menghargai kaum brahmana, mereka tidak mengindahkan kaum brahmana, mereka tidak memuja kaum barahmana, mereka tidak memberikan persembahan-persembahan kepada kaum brahmana."

Demikianlah untuk kedua kalinya pemuda Ambattha menghina suku Sakya sebagai budak-budak.
14. "Ambattha, mengapa seekor burung walaupun kecil, dapat mengatakan apa yang disenangi dalam sarangnya sendiri. Dan demikian pula halnya dengan suku Sakya yang berada di tempatnya sendiri, di Kapilavatthu. Adalah tidak patut bagimu, Ambattha, untuk merasa tersinggung dengan suatu hal yang tidak berarti seperti itu."

15. "Gotama, ada empat kasta (vanna) ini : Khattiya (ksatria), Brahmana, Vessa dan Sudda. Dan di antara keempat kasta ini, Gotama, tiga kasta, yaitu Khattiya, Vessa dan Sudda sesungguhnya hanya merupakan pelayan dari kaum brahmana."

"Karena itu, Gotama, sesungguhnya hal itu tidak pantas, hal itu tidak sopan. Suku Sakya itu adalah budak-budak, sebangsa budak; mereka tidak menghormati kaum brahmana, mereka tidak menghargai kaum brahmana, mereka tidak mengindahkan kaum brahmana, mereka tidak memuja kaum brahmana, mereka tidak memberikan persembahan-persembahan kepada kaum brahmana."

Demikianlah untuk ketiga kalinya Pemuda Ambattha menghina suku Sakya sebagai budak-budak.
16.

Kemudian Sang Bhagava berpikir demikian: "Pemuda Ambattha ini terlalu menghina suku Sakya dengan mencelanya berasal dari keturunan rendah. Bagaimana bila Aku menanyakan asal keturunannya sendiri?" Dan Sang Bhagava bertanya: "Ambattha, berasal dari keturunan apakah engkau?"

"Gotama, aku berasal dari keturunan Kanhayana."

"Ya, tetapi bila menyelidiki nama keturunanmu di masa lampau dari pihak ayah dan ibu, Ambattha, nampaknya suku Sakya pernah menjadi majikanmu, dan engkau adalah anak dari salah satu pelayan wanita suku Sakya. Tetapi suku Sakya mengusut kembali garis keturunan ayahnya dari Raja Okkaka."

"Pada jaman dahulu, Ambattha, karena Raja Okkaka ingin mengalihkan penggantian (kedudukan raja) pada seorang putra dari permaisuri kesayangannya, telah mengusir putra-putranya yang lebih tua: Okkamukha, Karanda, Hatthinika dan Sinipura - keluar dari kerajaan. Setelah diusir keluar dari kerajaan, mereka tinggal di lereng gunung Himalaya, pada tepi sebuah danau di mana tumbuh sebatang pohon Saka besar. Dan karena takut merusak kemurnian keturunan, mereka saling menikah dengan adik-adik perempuannya sendiri."

Kemudian Raja Okkaka bertanya kepada kumpulan para menterinya: "Kawan-kawan, di manakah sekarang putra-putraku berada?"

"Tuanku, ada suatu tempat di lereng gunung Himalaya, pada tepi sebuah danau di mana tumbuh sebatang pohon Saka besar. Di sanalah putra-putra Baginda berdiam. Dan karena takut merusak kemurnian keturunannya, mereka saling menikah dengan adik-adik perempuannya sendiri."

Kemudian, Ambattha, Raja Okkaka berseru dengan gembira : "Pemuda-pemuda itulah Sakya (hati pohon Ara). Sungguh sempurna-pemuda pemuda itu mempertahankan kemurniannya sendiri (parama-sakya)."

"Itulah sebabnya, Ambattha, mengapa mereka dikenal sebagai suku Sakya. Mereka adalah nenek moyang suku Sakya. Selanjutnya, Ambattha, Raja Okkaka mempunyai seorang pelayan wanita bernama Disa. Ia melahirkan seorang anak hitam. Dan tak lama setelah lahir, anak hitam itu berkata: "Cucilah aku, ibu; mandikanlah aku, ibu. Ibu, bersihkanlah aku dari kotoran ini; maka aku akan memberikan manfaat kepadamu."

"Ambattha, sama seperti sekarang orang-orang menyebut setan-setan dengan sebutan 'setan': selanjutnya mereka menyebut setan-setan dengan sebutan 'mahluk-mahluk hitam' (kanhi). Dan mereka berkata: "Anak ini dapat berbicara segera setelah ia dilahirkan. Ini adalah mahluk hitam (kanha) yang lahir, seorang setan telah lahir."

"Itulah, Ambatha, asal-usul suku Kanhayana. Ia adalah nenek moyang suku Kanhayana. Dan itulah Ambattha, apabila menyelidiki nama keturunanmu di masa lampau dari pihak ayah dan, ibu, nampaknya suku Sakya pernah menjadi majikanmu dan engkau adalah anak dari salah seorang pelayan wanita suku Sakya."
17.

Setelah Beliau berbicara demikian, para pemuda brahmana itu berkata kepada Sang Bhagava: "Janganlah kawan Gotama terlalu menghina Ambattha dengan mengatakan berasal dari keturunan seorang pelayan wanita. Kawan Gotama, pemuda Ambattha lahir dari keluarga baik-baik, pemuda Ambattha adalah putra dari keluarga baik-baik, pemuda Ambattha terpelajar, pemuda Ambattha pandai berdebat, pemuda Ambattha bijaksana, pemuda Ambattha dapat memberikan jawaban kepada kawan Gotama tentang hal ini."
18.

Kemudian Sang Bhagava berkata kepada para pemuda brahmana itu : "Baiklah, kawan-kawan, bila engkau berpikir bahwa pemuda Ambattha lahir dari keluarga yang tidak baik, pemuda Ambattha adalah putra dari keluarga yang tidak baik, pemuda Ambattha tidak terpelajar, pemuda Ambattha tidak pandai berdebat, pemuda Ambattha tidak bijaksana, pemuda Ambattha tidak dapat memberikan jawaban kepada Samana Gotama tentang hal ini, biarlah pemuda Ambatttha sendiri yang melanjutkan percakapan tentang hal ini. Bila engkau berpikir bahwa Ambattha lahir dari keluarga baik-baik, pemuda Ambattha adalah putra dari keluarga baik-baik, pemuda Ambattha terpelajar, pemuda Ambattha pandai berdebat, pemuda Ambattha bijaksana, pemuda Ambattha dapat memberikan jawaban kepada Samana Gotama tentang hal ini, biarlah pemuda Ambattha sendiri yang melanjutkan percakapan tentang hal ini."
19.

"Kawan gotama, pemuda Ambattha lahir dari keluarga baik-baik, pemuda Ambattha adalah putra dari keluarga baik-baik, pemuda Ambattha terpelajar, pemuda Ambattha pandai berdebat, pemuda Ambattha bijaksana; pemuda Ambattha dapat memberikan jawaban kepada kawan Gotama tentang hal ini. Dan kita akan berdiam diri. Pemuda Ambattha dapat memberikan jawaban kepada kawan Gotama tentang hal ini."
20.

Kemudian Sang Bhagava berkata kepada Ambattha : "Selanjutnya timbul pertanyaan lagi, Ambattha, suatu pertanyaan yang walaupun tidak diinginkan, engkau harus menjawabnya. Apabila engkau tidak memberikan jawaban yang jelas atau memberikan jawaban yang lain; atau engkau tetap diam atau pergi, maka kepalamu akan pecah berkeping-keping di tempat ini juga. Bagaimanakah pendapatmu, Ambattha? Apakah engkau pernah mendengar, sewaktu para brahmana yang lanjut usianya atau para guru dari guru-gurumu yang berusia tua sedang bercakap-cakap bersama mengenai darimana asalnya suku Kanhayana dan siapa yang menjadi nenek moyang suku Kanhayana ?"

Setelah beliau berkata demikian, pemuda Ambattha tetap diam. Dan untuk kedua kalinya Sang Bhagava bertanya kepada pemuda Ambattha: "Bagaimanakah pendapatmu, Ambattha? Apakah engkau pernah mendengar, sewaktu para brahmana yang lanjut usianya atau para guru dari guru-gurumu yang berusia tua sedang bercakap-cakap bersama mengenai darimana asalnya suku Kanhayana dan siapakah yang menjadi nenek moyang suku Kanhayana ? Dan juga untuk kedua kalinya pemuda Ambattha tetap diam.

Kemudian Sang Bhagava berkata kepada Ambattha : "Engkau lebih baik menjawab pertanyaan itu sekarang, Ambattha. Ini bukan waktunya bagimu untuk tetap diam. Karena, Ambattha, siapapun juga yang tidak menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Tathagata sampai ketiga kalinya; maka kepalanya akan pecah berkeping-keping di tempat itu juga."
21.

Pada waktu itu Yakkha Vajirapani berada di atas Ambattha, berdiri di udara dengan membawa pemukul besi besar yang membara, menyala-nyala dan menyilaukan; dengan maksud apabila pemuda Ambattha tidak menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Sang Bhagava yang ketiga kalinya; segera aku akan memecahkan kepalanya berkeping-keping di tempat ini juga.

Sang Bhagava melihat Yakkha Vajirapani itu, demikian pula pemuda Ambattha. Dan Ambattha yang sadar akan hal itu merasa ketakutan, panik serta seluruh rambutnya menjadi berdiri; mencari keselamatan kepada Sang Bhagava, mencari perlindungan pada Sang Bhagava dan mencari bantuan pada Sang Bhagava; ia duduk dekat Sang Bhagava dan berkata: "Apakah yang telah dikatakan oleh Yang Mulia Gotama? Katakanlah sekali lagi, Yang Mulia Gotama !"

"Bagaimanakah pendapatmu, Ambattha ? Apakah engkau pernah mendengar, sewaktu para brahmana yang lanjut usianya atau para guru dari guru-gurumu yang berusia tua sedang bercakap-cakap bersama mengenai darimana asalnya suku Kanhayana dan siapa yang menjadi nenek moyang suku Kanhayana ?"

"Demikianlah, Gotama, yang telah kudengar tentang asal-usul suku Kanhayana dan tentang mereka yang menjadi nenek moyang suku Kanhayana, sama seperti yang dikatakan oleh yang Mulia Gotama."
22.

Setelah ia berkata demikian, para pemuda brahmana itu menjadi gempar, ribut; dan mereka berkata: "Pemuda Ambattha benar-benar lahir dari keluarga yang tidak baik, pemuda Ambattha benar-benar putra dari keluarga yang tidak baik, pemuda Ambattha benar-benar putra dari salah seorang pelayan wanita suku Sakya, pemuda Ambattha benar-benar putra dari budak suku Sakya. Kita tidak mengira bahwa Samana Gotama yang tidak kita percaya itu, sesungguhnya kata-kata-Nya benar."
23.

Dan Sang Bhagava berpikir: "Para pemuda brahmana ini terlalu menghina Ambattha dengan mencelanya sebagai anak yang berasal dari seorang budak wanita. Biarlah Aku membebaskannya dari celaan mereka." Dan Sang Bhagava berkata kepada para pemuda brahmana itu: "Kawan-kawan, janganlah terlalu menghina pemuda Ambattha dengan mencelanya sebagai anak yang berasal dari seorang budak wanita. Dan selanjutnya Kanha itu menjadi resi yang sakti. Setelah pergi ke negara bagian selatan (Dekkan) untuk mempelajari mantra gaib, ia kembali ke tempat Raja Okkaka untuk meminta putrinya yang bernama Khudda-rupi menjadi isterinya. Sebagai jawaban kepadanya, Sang Raja berkata: "Siapakah gerangan resi yang menjadi putra pelayan wanitaku ini, yang meminta Khudda-rupi putriku sebagai istrinya?" Karena marah serta merasa tidak senang, baginda memasang sebatang anak panah pada busurnya. Tetapi ia tidak dapat menerbangkan anak panah itu atau pun melepaskannya dari tali busur lagi. Kemudian para menteri dan pembantu pembantu raja mendatangi Kanha sang resi itu, dan berkata: "Bhadante, biarlah Baginda selamat (sotthi hotu); bhadante, biarlah Baginda selamat."

"Sang Raja akan selamat, bila ia memanahkan anak panahnya ke bawah, maka tanah seluas wilayah kerajaannya akan mengering."

"Bhadante, biarlah Baginda selamat; biarlah negaranya selamat juga."

"Sang Raja akan selamat, negaranya juga akan selamat; tetapi bila ia memanahkan anak panahnya ke atas, maka hujan tidak akan turun di seluruh wilayah kerajaannya selama tujuh tahun."

"Sang Raja akan selamat, negaranya akan selamat dan hujan akan turun; tetapi biarlah Sang Raja memanahkan anak panahnya kepada putranya yang tertua. Pangeran akan selamat dan tidak akan mengalami cedera apa pun."

"Selanjutnya, kawan-kawan, para menteri memberitahukan hal ini kepada Raja Okkaka, dan berkata: "Biarlah Baginda memanahkan anak panahnya kepada putra tertua; Pangeran akan selamat dan tidak akan mengalami cedera apa pun." Kemudian Raja Okkaka memanahkan anak panahnya kepada putranya yang tertua dan Pangeran selamat, tidak mengalami cedera apa pun. Demikianlah, baginda yang menjadi takut dengan pelajaran yang diberikan kepadanya, telah menyerahkan Khudda-rupi putrinya menjadi istri Kanha itu. Karenanya, kawan-kawan, janganlah terlalu menghina pemuda Ambattha dengan mencelanya sebagai anak yang berasal dari seorang budak wanita. Selanjutnya Kanha itu menjadi resi yang sakti."
24.

Kemudian Sang Bhagava berkata kepada Ambattha : "Bagaimanakah pendapatmu, Ambattha ? Seandainya seorang pemuda khattiya (kesatria) mengadakan hubungan dengan seorang gadis brahmana. Dan sebagai akibat dari hubungan mereka lahirlah seorang putra. Selanjutnya, apakah putra yang lahir dari pemuda khattiya dan gadis brahmana itu akan menerima tempat duduk dan air (sebagai tanda penghormatan) dari kaum brahmana?"

"Ya, Gotama, ia akan menerimanya."

"Tetapi apakah kaum brahmana akan mengajarkan mantranya atau tidak ?"

"Ya, Gotama, mereka akan mengajarkannya."

"Tetapi apakah ia akan dilarang untuk berhubungan dengan gadis gadis mereka atau tidak?"

"Ia tidak akan dilarang, Gotama."

"Tetapi apakah kaum khattiya akan mengijinkan ia menerima upacara penyucian seorang khattiya?"

"Tidak, Gotama."

"Apakah sebabnya?"

"Karena ia bukan keturunan murni pada pihak sang ibu, Gotama."
25.

"Bagaimanakah pendapatmu, Ambattha ? Seandainya seorang pemuda brahmana mengadakan hubungan dengan seorang gadis khattiya. Dan sebagai akibat dari hubungan mereka lahirlah seorang putra. Selanjutnya, apakah putra yang lahir dari pemuda brahmana dan gadis khattiya itu akan menerima tempat duduk dan air (sebagai tanda penghormatan) dari kaum brahmana ?"

"Ya, Gotama, ia akan menerimanya."

"Tetapi apakah kaum brahmana akan mengajarkan mantranya atau tidak ?"

"Ya, Gotama, mereka akan mengajarkannya."

"Tetapi apakah ia akan dilarang untuk berhubungan dengan gadis- gadis mereka atau tidak?"

"Ia tidak akan dilarang, Gotama."

"Tetapi apakah kaum khattiya akan mengijinkan ia menerima upacara penyucian seorang khattiya?"

"Tidak, Gotama."

"Apakah sebabnya ?"

"Karena ia bukan keturunan murni pada pihak sang ayah, Gotama."
26.

"Maka, Ambattha, apakah seseorang dengan membandingkan wanita dengan wanita, atau lelaki dengan lelaki, maka kaum khattiya adalah lebih tinggi dan kaum brahmana lebih rendah ?"

"Bagaimanakah pendapatmu, Ambattha ? Seandainya seorang brahmana berbuat suatu kesalahan dan diusir oleh kaum brahmana keluar dari kerajaan atau keluar dari kota dengan menggunduli dan menaburkan abu di atas kepalanya. Apakah ia akan menerima tempat duduk dan air di antara kaum brahmana ?"

"Sudah tentu tidak, Gotama."

"Apakah kaum brahmana mengijinkannya untuk ikut ambil bagian dalam upacara persembahan makanan kepada orang mati, atau dalam upacara persembahan makanan yang dimasak dalam susu, atau dalam upacara persembahan kepada para dewa, atau dalam upacara persembahan makanan sebagai sajian ?"

"Sudah tentu tidak, Gotama."

"Apakah kaum brahmana akan mengajarkan mantra kepadanya atau tidak ?"

"Sudah tentu tidak, Gotama."

"Apakah ia akan dilarang untuk berhubungan dengan gadis-gadis mereka atau tidak ?"

"Ia akan dilarang, Gotama."
27.

"Bagaimanakah pendapatmu, Ambattha ? Seandainya seorang khattiya berbuat suatu kesalahan, dan diusir oleh kaum khattiya keluar dari kerajaan atau keluar dari - kota dengan menggunduli dan menaburkan abu di atas kepalanya. Apakah ia akan menerima tempat duduk dan air di antara kaum brahmana ?"

"Ya, Gotama, ia akan menerimanya."

"Apakah kaum brahmana mengijinkannya untuk ikut ambil bagian dalam upacara persembahan makanan kepada orang mati, atau dalam upacara persembahan makanan yang dimasak dalam susu, atau dalam upacara persembahan kepada para dewa, atau dalam upacara persembahan makanan sebagai sajian ?"

"Ya, Gotama, mereka akan mengijinkannya."

"Apakah kaum brahmana akan mengajarkan mantra kepadanya atau tidak ?"

"Ya, Gotama, mereka akan mengajarkannya."

"Apakah ia akan dilarang untuk berhubungan dengan gadis-gadis mereka atau tidak ?"

"Ia tidak akan dilarang, Gotama."

"Dengan demikian, Ambattha, seorang khattiya akan merosot rendah sekali karena diusir oleh kaum khattiya keluar dari kerajaan atau keluar dari kota dengan menggunduli dan menaburkan abu di atas kepalanya. Maka, Ambattha, walaupun seorang khattiya merosot sekali, tetapi masih tetap kaum Khattiya lebih tinggi dan kaum brahmana lebih rendah."
28.

"Lagi pula, Ambattha, Sanam Kumara, salah seorang dari dewa-dewa Brahma yang mengucapkan syair ini :

"Seorang khattiya adalah yang terbaik di antara kumpulan ini, yang mempertahankan keturunannya.

Tetapi ia yang sempurna pengetahuan serta tindak-tanduknya, adalah yang terbaik di antara para dewa dan manusia."

Syair ini, Ambattha, telah diucapkan dengan baik dan bukannya diucapkan dengan tidak baik oleh Brahma Sanam Kumara; kata-kata yang baik dan bukan kata-kata jahat ini; penuh arti dan bukan kosong dari arti. Karenanya, Aku membenarkannya, Ambattha, Aku juga menyatakan : "Seorang khattiya adalah yang terbaik di antara kumpulan ini, yang mempertahankan keturunannya.

Tetapi ia yang sempurna pengetahuan serta tindak-tanduknya, adalah yang terbaik di antara para dewa dan manusia." "

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Blog Advertising - Advertise on blogs with SponsoredReviews.com

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner