Sawitri Supardi Sadarjoen psikolog
KOMPAS.com - Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga atau UU KDRT sudah bertahun terakhir dikumandangkan, namun gaungnya terasa menyurut. Kasus-kasus siksaan fisik dan mental terhadap anak ataupun istri terus terjadi dan berlanjut, seolah pengabaian UU KDRT menjadi hal yang wajar.
”Kami sudah menikah 22 tahun, tapi masih saja suami saya cemburuan, Sepertinya dia tidak rela kalau saya mempunyai kegiatan di luar rumah, tapi sebenarnya secara terus terang dia tidak pernah melarang saya pergi. Saat saya di luar rumah, misalnya sedang melakukan kegiatan sosial bersama teman-teman, dia akan mengecek melalui HP, di mana saya berada dan apa yang sedang saya lakukan.
Saya benar-benar merasa tidak nyaman dan terkadang malu diketahui oleh teman kalau saya terus-menerus dicek suami. Saya merasa tidak dipercaya. Padahal dia sendiri kalau pergi tanpa kendali, pulang jam 3 malam, bahkan terkadang sampai menginap tanpa meminta izin saya. Kalau saya tanya ke mana? Dia akan langsung marah dengan suara keras dan saya pasti kena tampar.
Andai saya mencoba menghindar dari tamparannya, dia akan terus mengejar saya dan berusaha menampar dan memukul lagi beberapa kali. Apalagi kalau saat dia memukul saya menunjukkan perlawanan dengan cara memelototi dan menjawab tuduhannya dengan suara keras. Muka dan bagian tubuh saya sering memar dan lebam-lebam, dia baru berhenti memukul kalau saya menundukkan kepala menangis kesakitan.
Yang membuat saya sedih, dia menampar saya di depan anak-anak. Kalau anaknya memperingatkan, anak juga ikut kena tamparan. Anak saya dua orang, dan anak sulung saya sangat pendiam, tidak percaya diri dan sering terlihat sedih dan depresi, mungkin ini efek dari perlakuan ayahnya kepada saya.
Terkadang terlintas pikiran untuk minta cerai, tapi saya tidak berani mengatakannya, rumah tinggal kami cuma satu, saya tidak tahu mau pulang ke mana, uang bekal pun saya tidak punya dan saya tidak mau menyusahkan ibu saya. Saya hanya ibu rumah tangga, bagaimana saya menghidupi anak-anak saya kelak?
Apa yang harus saya lakukan, Bu? Saya menyesal saat saya melahirkan anak pertama, saya menuruti nasihat mertua untuk keluar kerja demi mengurus anak di rumah, jadi saya bergantung sepenuhnya pada suami yang kejam seperti itu.” Demikian Ny I (42), dengan air mata bercucuran.
”Dua tahun yang lalu saya melakukan kegiatan dalam kepanitiaan reuni teman-teman SMP. Karena kegiatan tersebut, maka tercatat sejumlah nomor HP teman-teman panitia reuni dan di antaranya ada nama teman pria, yang sebenarnya juga sudah berkeluarga. Tidak ada hubungan khusus dengan teman laki-laki tersebut, hanya dia memegang salah satu posisi dalam kepanitiaan tersebut.
Aduh, Bu, saat suami saya melihat nomor HP tersebut, maka suami marah luar biasa, dia interogasi saya semalaman, ditanya sambil dituduh sambil dijenggut pula rambut saya. Sejak kejadian itu dia tidak mengizinkan saya untuk melakukan aktivitas di luar rumah, berbelanja pun baru boleh saya lakukan bila diantar, sementara kalau lama sedikit di toko dia sudah marah-marah. Benar-benar tidak nyaman dan tidak tenang belanjanya, Bu.
Sore ini saya bisa berkonsultasi dengan ibu karena saat ini dia sedang dinas dua hari ke luar kota. Ada saat tertentu saya melakukan kesalahan kecil, seperti lupa menutup lemari atau lain-lain hal, itu pun bisa memicu kesadisan perlakuan kepada saya. Saat marah, dia akan mengungkit kembali soal no HP lelaki teman SMP, yang saya pun sudah tidak tahu lagi di mana dia karena memang tidak ada hubungan khusus yang terjadi, suami saya akan mulai beringas lagi dan menampari dan meninju saya sekeras-kerasnya. Bahkan pernah mencekik leher saya dan baru dilepas setelah saya tersengal napasnya.
Ibu saya ingin cerai, tapi tidak tahu bagaimana caranya, kecuali saya tidak bekerja, kalau saya adukan pada atasannya otomatis kariernya pasti terhambat. Hambatan kariernya pasti berpengaruh terhadap masa depan pendidikan tiaga anak saya. Bu, saya bingung, tapi saya tidak mau disiksa terus-menerus tanpa alasan yang jelas.” demikian Ny S (45).
Renungan
1. Kedua orang perempuan (istri) ini kondisinya benar-benar memprihatinkan karena kondisi ketidakberdayaan menghadapi suami yang sadis. Mereka bertahan dalam ikatan perkawinan penuh siksaan fisik dan batin demi masa depan pendidikan anak-anaknya. Sementara itu, tidak satu pun keluarga dekat yang dapat membantu karena tidak satu pun dari keluarga besar suami punya keberanian untuk menegur perlakuan suami sadis ini terhadap istrinya karena kedua lelaki (suami) itu adalah figur lelaki yang paling berhasil dalam karier dan kekayaan sehingga punya posisi dominan dan otoriter di antara keluarga besar mereka.
2. Dalam kasus perkawinan, yang berkonsultasi mencari solusi seyogianya datang dengan pasangannya. Namun dengan masalah KDRT, sangat diragukan kesediaan pihak suami untuk datang bersama istrinya untuk berkonsultasi.
3. Pemanfaatan praktis UU KDRT, dengan persyaratan pihak istri mencari visum penganiayaan oleh suami ke dokter dan pelaporan ke pihak berwajib, kurang memberi peluang perbaikan relasi antarsuami-istri, bahkan justru lebih besar pada kemungkinan perceraian.
Jadi, satu hal yang masih bisa diharapkan adalah dengan membaca artikel ini, para suami yang pernah bersikap sadistik terhadap istrinya mudah-mudahan mendapat stimulasi untuk mulai memberikan pengayoman penuh kasih yang tulus dengan menempatkan istri sebagai sosok individu yang patut dihormati dan dihargai karena jasa yang tidak terhingga dalam melahirkan, mengasuh, dan membesarkan anak-anak tercinta, harapan masa depan kita.
Rabu, 10 Februari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.